Ratings and Recommendations by Outbrain

Wednesday 6 April 2011

Analisis : Lonjakan Harga Minyak Berbahayakah ?

Catatan : Helmi Arman*
 

Di tengah gejolak harga minyak dunia yang meningkat, harus ada kebijakan konkret untuk mengelola segala risiko yang bisa menghadang perekonomian nasional. Bila pemerintah mempertahankan status quo pada subsidi BBM, risiko inflasi justru bisa melejit.
 
Seiring dengan memanasnya konflik militer di Libia, harga minyak mentah kembali meningkat dan belakangan ini masih bertengger di atas US$110 per barel. Dengan mulai meluasnya ketegangan politik ke Yaman dan Suriah, risiko terjadi kenaikan lagi ke depannya masih terbuka lebar.

Sebenarnya banyak pelajaran yang bisa kita petik dari penga laman yang sudah-sudah, yakni terakhir pada 2008 di mana harga minyak mendekati US$150 per barel. Dari sana terlihat pengaruh harga minyak pada perekonomian Indonesia setidaknya ada melalui tiga jalur utama, yakni melalui neraca perdagangan luar negeri, neraca anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta tingkat kenaikan harga-harga barang konsumen (inflasi).

Memang, dari sisi neraca perdagangan dan APBN, kondisi kita sekarang sudah relatif lebih baik. Indonesia masih merupakan negara importir minyak tetapi selama 2 tahun terakhir ini ekspor komoditas-komoditas mentah seperti batu bara, karet dan bijih besi ke China dan Korea Selatan mengalami peningkatan pesat.
Alhasil, ini menjadi bumper kita terhadap lonjakan impor minyak (baik dari sisi volume maupun nilai) yang biasanya terjadi jika harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan.

Jadi selama ada kesamaan pergerakan harga di antara komoditas-komoditas sumber daya alam (SDA), pembengkakan defisit neraca perdagangan minyak akan sedikit banyak terimbangi oleh membaiknya surplus perdagangan SDA nonminyak.

Dengan demikian dari sisi neraca perdagangan secara umum, boleh dikatakan bahwa Indonesia terlihat lebih kuat menghadapi lonjakan harga minyak dibandingkan dengan 2008.
Dari sisi APBN, gambarannya juga terlihat lebih baik. Anggaran subsidi memang bisa saja membengkak dan bila asumsi harga minyak APBN dinaikkan maka proyeksi defisit APBN juga akan otomatis meningkat. Hal ini antara lain karena pemerintah harus menjaga porsi anggaran pendidikan minimal 20% dari total belanja.
Namun kekhawatiran terjadinya peningkatan rasio utang atau ketidaksinambungan kebijakan fiskal--yang berpotensi mengganggu kestabilan pasar keuangan domestik--tampaknya tidak terlalu besar sekarang. Buktinya di pasar obligasi, harga-harga obligasi masih relatif stabil. Hal ini sangat berbeda dengan situasi pada 2008 di mana harga-harga berjatuhan ketika harga minyak naik.

Sepertinya pelaku pasar sudah mulai membedakan antara proyeksi dan realisasi APBN. Sebab selama 5 tahun terakhir ini, realisasi defisit APBN selalu jauh lebih rendah dibandingkan proyeksinya, antara lain karena belanja pembangunan yang cenderung lambat. Tampaknya tahun ini pun pencairan anggaran masih belum akan optimal. Walau harga minyak terus naik dan proyeksi defisit APBN diperbesar, realisasinya kemungkinan akan masih berada di bawah angka proyeksi. Ujung-ujungnya, rasio utang pemerintah masih terjaga dengan baik.

Namun `perbaikan' pada kedua aspek tersebut (neraca perdagangan dan kesinambungan fiskal) tetap tidak bisa dijadikan alasan bagi kita untuk berpangku tangan.
Belajar dari pengalaman yang lalu-lalu, konsumsi BBM bersubsidi akan cenderung meningkat bila selisih harganya dengan harga BBM nonsubsidi dibiarkan terus melebar. Hal ini bisa terjadi karena adanya perpindahan konsumsi dari pertamax ke premium ataupun karena meningkatnya penyalahgunaan BBM bersubsidi (misalnya oleh industri).

Salah satu risiko yang timbul dari sini adalah terjadinya kelangkaan persediaan BBM di pasaran, yang bisa berdampak signifikan pada laju perekonomian dan inflasi, terlebih jika pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM bersubsidi secara signifikan untuk mengatur ulang insentif pemakaian BBM yang nonsubsidi.
Risiko kelangkaan ini cukup berarti karena sangat tergantung pada ekspektasi masyarakat yang notabene sulit dikendalikan. Persepsi kelangkaan akan mudah sekali menjadi kenyataan karena biasanya diiringi perilaku masyarakat yang otomatis berubah, misalnya dengan meningkatnya pembelian BBM melebihi pola normal untuk berjaga jaga (menimbun).

Oleh karena itu di tengah meningkatnya harga minyak dunia sekarang ini pemerintah harus segera mengambil kebijakan-kebijakan antisipatif untuk mengurangi dan mengelola risiko-risiko tersebut.
Sayangnya, sejauh ini strategi yang paling jelas terlihat dari pemerintah justru adalah sekuat tenaga mempertahankan status quo, yang barangkali dilakukan untuk kepentingan popularitas jangka pendek. Rencana pembatasan subsidi BBM yang seyogianya dilaksanakan pada April dibatalkan dengan berbagai alasan seperti ketidaksiapan infrastruktur dan lain sebagainya.

Padahal sebenarnya bila ada keberanian politis, ketidaksiapan infrastruktur seharusnya bukan alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Kalau ada kemauan, banyak opsi lain yang lebih mudah dilakukan, misalnya dengan memberikan fleksibilitas pada harga BBM bersubsidi dan mengaitkannya dengan harga minyak dunia. Dengan demikian, disparitas harga antara BBM subsidi dan nonsubsidi bisa dijaga dan risiko terjadinya penyelewengan dan kelangkaan bisa ditekan.

Bila harga minyak mencapai US$130 atau US$140 per barel, perbedaan harga antara BBM subsidi dengan nonsubsidi akan berada di atas 100%. Waktu untuk melakukan studi-studi, menimbang-nimbang dan menunda-nunda semakin menipis. Harus ada tindakan sebelum terlambat.  

*Ekonom Bank Danamon Indonesia

0 komentar:

Post a Comment