UNDER CONSTRUCTION - WEBSITE DALAM PERBAIKAN - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Forex adalah Bisnis yang mengandung RESIKO SANGAT TINGGI, tidak seorangpun yang mampu mengendalikan pergerakan Forex ini "...harga bergerak secara acak tidak akan menjamin seseorang bisa profit secara terus menerus karena Forex adalah PERMAINAN PSIKOLOGI" kata Bill William yang terkenal dengan Chaos Teory-nya.

TRADING ADALAH BISNIS PALING JUJUR, Bisnis mandiri terlepas dari kekurangan dan kelebihannya

Trading Forex di Indonesia masih menjadi bisnis negatif bagi sebagian kalangan masyarakat kita, cap negatif itu masih menghantui dan memberikan sinyal untuk segera meningalkan bisnis ini. Ada Apa Dengan Trading ?

STRATEGY TRADING : INDICATORS VS NAKED TRADING

Dalam melakukan transaksi Forex apa yang sebaiknya kita pakai sebagai acuan dalam trading ? Amati Candlestick anda satu persatu, karena setiap perpindahan candlestick adalah signal buat kita.

Surat Keputusan (SK) No.75/BAPPEBTI/Per/12/2009 tentang Pialang Asing (PMA) di Indonesia.

PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) SEGERA bekerja sama dengan Pialang Berjangka Luar Negeri untuk dapat langsung bertransaksi di Bursa Komoditas kedua di Indonesia ini. Pialang Luar Negeri dapat langsung bertransaksi di Bursa Tanah Air TANPA HARUS memiliki Kantor Perwakilan di Indonesia.

TIPS TRADING : NASEHAT DARI MASTER FOREX DUNIA

“Trading itu tidak sulit. Apa yang sulit adalah disiplin dan komitmen yang diperlukan dalam aktivitas trading" - Michael Miligan. “Tidak ada alasan untuk tawar-menawar lebih delapan poin. Segera saja lakukan pembelian. Begitu juga ketika turun, jika anda berpikir harga akan turun, segera saja lakukan penjualan.” - David Ryan

Ratings and Recommendations by Outbrain

Saturday 20 November 2010

Ketua WTO Peringatkan Perang Kurs Mata Uang

Kepala Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Jumat, memperingatkan negara-negara terhadap pemeliharaan mata uang mereka "undervalued" (di bawah nilai pasar) untuk menciptakan lapangan kerja, mengatakan kebijakan seperti itu bisa memicu proteksionisme.

Pascal Lamy, Direktur Jenderal WTO, mengatakan perang nilai mata uang -- dalam sebuah referensi yang jelas ke Amerika Serikat dan China -- telah muncul sebagai penghalang terhadap stabilitas keuangan global.

"Hal ini menghasilkan pekerjaan yang berada di jantung strategi dari beberapa negara untuk menjaga mata uang mereka undervalued," katanya. "Sama seperti itu juga di jantung kebijakan moneter longgar negara lain."

Persaingan devaluasi, telah menimbulkan kekhawatiran perang mata uang global, akan memicu "saling balas proteksionisme", katanya.

"Kebijakan tidak terkoordinasi `beggar thy neighbour` (kebijakan ekonomi di suatu negara yang mengakibatkan kekacauan di negara lain) tidak akan menghasilkan peningkatan lapangan kerja," katanya.

Washington telah mendesak Beijing untuk membiarkan yuan naik, mengatakan mata uang itu undervalued untuk menciptakan keuntungan perdagangan yang tidak adil.

Amerika Serikat telah dituduh melakukan hal yang sama dengan suntikkan dana 600-miliar dolar yang diumumkan awal bulan ini.

Lamy juga mengatakan ia bertujuan untuk kesepakatan awal pembicaraan perdagangan WTO dalam putaran Doha yang terhenti pada pertengahan 2011.

Dirjen WTO mengatakan para pemimpin pada KTT Kelompok 20 di Seoul minggu lalu telah "menyerukan perundingan menyeluruh untuk menyimpulkan akhir permainan" dari pembicaraan liberalisasi perdagangan global pada 2011.

Putaran Doha dari perundingan perdagangan global dimulai pada 2001 dengan fokus pada pembongkaran hambatan perdagangan untuk negara-negara miskin. Namun negosiasi telah terhenti karena perselisihan.

Mereka termasuk berapa banyak Amerika Serikat dan Uni Eropa harus mengurangi bantuan pertanian dan sejauh mana negara-negara berkembang seperti India dan China harus menurunkan tarif pada produk industri.

Tenggat waktu berturut-turut untuk menyimpulkan pembicaraan telah luput.

New York (ANTARA/AFP/Reuters

Thursday 18 November 2010

Meminta Jatah Saham, Langgar Kode Etik Jurnalistik

By : Lahyanto Nadie

Penjatahan saham perdana PT Krakatau Steel Tbk. yang diminta oleh sejumlah wartawan dinilai melanggar kode etik jurnalistik dan merusak citra pers.

Mantan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara mengatakan bahwa tugas wartawan adalah melakukan kegiatan jurnalistik untuk kepentingan umum. "Jika ada sejumlah wartawan melakukan itu bertentangan kode etik. Jelas itu salah total dan merusak citra pers," ujarnya kepada Bisnis pagi ini.

Wartawan seperti itu, katanya, berarti tidak bisa lagi bisa menjalankan fungsi kontrol. "Itu wartawan abal-abal."

Dia mengimbau agar wartawan harus menjaga kredibilitas dan jangan merusak jadi diri. Sikap pemimpin redaksi menghadapi kasus seperti itu, katanya, mestinya tegas. Jika medianya profesional, menurut Leo, jika ada wartawan seperti itu harus dipecat.

Dia menjelaskan bahwa Menurut Piagam Palembang 2010 disepakati hal-hal a.l. insan pers bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, dan Standar Kompetensi Wartawan, serta akan menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan.

Seperti diberitakan bahwa proses penawaran harga saham perdana PT Krakatau Steel Tbk dinodai ulah sejumlah wartawan. Mereka diduga meminta penjatahan saham perdana sebanyak 1.500 lot (750.000 lembar).

Harga saham perdana produsen baja itu sebesar Rp860 per lembar menjadi polemik karena dinilai terlalu murah. Pada listing perdana di lantai bursa 10 November lalu, harga saham KS melonjak 49,6% menjadi Rp 1.270 per lembar.

Seorang wartawan senior yang biasa meliput di bursa setuju jika dilakukan investigasi agar kasusnya itu menjadi jelas.

Sementara itu, wartawan lainnya mengatakan bahwa ada media yang membolehkan wartawannya bermain saham. "Itu kan nggak benar juga kalo diperbolehkan karena wartawan tahu rencana dan kondisi di dalam korporasi, sehingga mudah buat mempermainkan. Jadi berbahaya," katanya. (ln)

Wednesday 17 November 2010

Perang Kurs, G-20 dan Indonesia

Pemulihan ekonomi global ada dalam ancaman. Setidaknya begitu kekhawatiran yang muncul saat ini. Salah satu penyebabnya adalah potensi perang kurs (currency war). Itulah tema hangat yang mewarnai pertemuan pemimpin G-20 pekan ini di Seoul.

Beberapa pemimpin penting dunia juga telah memberikan pandangannya soal ini. Berkaitan dengan ini, ekonom Jeffrey Sachs dan Wing Thye Woo berinisiatif untuk mengorganisir sekelompok ekonom untuk bertemu dalam International Policy Advisory Group untuk G-20 di Seoul awal pe-kan ini, di mana saya terlibat di dalamnya.

International Policy Advisory Group G-20 memiliki kekhawatiran yang sama: perang kurs da-pat mengganggu pemulihan ekonomi global. Bagi kita di Indonesia, pemulihan ekonomi global yang terganggu tentu akan menganggu prospek perekonomian Indonesia.

Bagaimana dampaknya pada ekonomi global, bagaimana dampaknya bagi ekonomi Indonesia? Apakah pertemuan para pemimpin G-20 di Seoul mampu menyelesaikan persoalan ini?

Benar bahwa pemulihan ekonomi global mulai terjadi tetapi lebih lambat dari yang diharapkan. Krisis keuangan yang terjadi memaksa Amerika Serikat harus mengurangi konsumsinya. Implikasinya adalah menurunnya permintaan impor oleh AS terhadap semua negara di dunia.

Kita tidak bisa lagi mengharapkan AS memainkan peran sebagai lokomotif perdagangan dunia. Lokomotif perdagangan dunia harus diambil oleh negara yang memiliki surplus seperti negara Asia terutama China. Jika China menggunakan surplus nya untuk menyerap perekonomian global, maka pemulihan ekonomi dunia akan berlangsung dengan lancar.

Untuk itu China harus bersedia melakukan apresiasi renminbi (RMB) nya. Dengan ini, ketidakseimbangan global (global imbalances) akan bisa diatasi.

Sulit dimungkiri bahwa RMB memang berada di bawah nilai yang seharusnya (undervalue). Tengok saja, China mengalami surplus dalam transaksi berjalan dan neraca modal, namun RMB nya tidak menguat.

Karena itu AS menuduh China melakukan manipulasi kurs (membiarkan nilai tukar RMB nya lemah, agar produk ekspor China tetap kompetitif). China sendiri memang terlihat enggan untuk melakukan revaluasi RMB nya secara drastis.

Bisa dimengerti, karena seperti yang disampaikan oleh ekonom Dani Rodrik kepada saya dalam diskusi di Harvard University bulan lalu apresiasi RMB yang signifikan akan membuat pertumbuhan ekonomi China merosot dan menimbulkan masalah pengangguran.

Akibatnya: pemulihan ekonomi AS menjadi relatif lambat dari yang diharapkan. Untuk mendorong pemulihan ekonomi, maka Fed berencana melakukan pelonggaran kebijakan moneter tahap II (Quantitative Easing II (QE II)).

Pelonggaran kebijakan moneter ini membuat tingkat bunga di AS sangat rendah yang pada gilirannya dan mendorong arus modal keluar ke negara-negara Amerika Latin dan Asia, termasuk Indonesia.

Akibatnya, nilai tukar dolar melemah. Arus modal yang masuk ini dalam bentu portofolio telah mendorong nilai tukar negara-negara tersebut mengalami penguatan, dan meningkatkan risiko bubble terutama untuk negara seperti Indonesia yang belum sepenuhnya mampu mengalihkan dana jangka pendek dari sektor keuangan ke sektor riil.

Apresiasi nilai tukar yang menguat akan membuat ekspor terpukul. Melihat hal ini, Jepang yang mata uang yen-nya mengalami apresiasi secara signifikan melakukan intervensi dengan kebijakan pelonggaran moneter. Korea juga mengikuti langkah Jepang dengan melakukan intervensi di pasar devisa.

Saya ingat, di dalam pertemuan terbatas anggota Regional Advisory Group IMF di Washington DC bulan lalu, saya merasakan "suasana kebatinan" perang kurs ini, di mana negara Amerika Latin dengan tegas mengatakan bahwa mereka mungkin akan memberlakukan capital control dengan pajak atas modal jangka pendek dan melakukan intervensi di pasar devisa.

Untuk Indonesia, pilihan intervensi di pasar devisa dengan sterilisasi dan akumulasi cadangan devisa memiliki biaya yang sangat mahal karena selisih dari US T bills (yang mendekati 0%) dengan SBI (6.5%). Bila ini terus dilakukan, maka dalam jangka menengah BI akan mengalami persoalan dalam neracanya.

Waspadai rupiah

Sebaliknya membiarkan rupiah menguat dengan sangat tajam, akan memukul ekspor padat karya kita, yang pada gilirannya akan membahayakan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Indonesia bisa mengantisipasi ini dengan kebijakan yang komprehensif yang mencakup: membiarkan rupiah sedikit terapresiasi; Bank Indonesia melakukan sterilisasi sesuai dengan kapasitasnya; penerapan aturan administratif untuk modal jangka pendek (seperti aturan untuk memegang SBI dalam waktu 1 bulan); percepatan pembayaran utang luar negeri; bisa saja budget defisit sedikit diturunkan dengan catatan bahwa alokasi infrastruktur harus tetap dan bahkan meningkat dengan mengurangi subsidi BBM dan listrik dan mengalokasikannya untuk infrastruktur; mendorong semakin banyak perusahaan untuk masuk ke pasar modal. Yang paling penting adalah implementasi dari pembangunan infrastruktur agar modal mengalir dari sektor keuangan ke sektor riil.

Namun, bila setiap negara berlomba-lomba membuat nilai tukarnya tak mengalami apresiasi (competitive non-appreciation), maka perang kurs bisa terjadi. Sejarah mengajarkan kepada kita: salah satu yang membuat perekonomian global ambruk dalam depresi besar tahun 1930 adalah beggar thy neighbor policy di mana tiap negara membuat nilai tukarnya lemah.

Akibatnya: proteksionisme meningkat, perdagangan global lumpuh dan ekonomi dunia masuk dalam jurang depresi yang panjang. Kalau perekonomian dunia lumpuh, maka semua negara, termasuk Indonesia akan mengalami persoalan. Dalam kasus Indonesia, situasi ini juga dapat diperburuk karena arus modal jangka pendek yang masuk membawa risiko bubble. Bila modal kembali keluar dengan drastis maka pasar keuangan dan rupiah anjlok, perbankan dan sektor riil mengalami tekanan. Kita tak boleh mengulangi kesalahan yang sama.

Karena itu harus ada langkah bersama untuk mengatasi soal ini. Di sini pertemuan pemimpin G-20 di Seoul menjadi penting. Kerjasama seperti apa? Apakah mengikuti pola Plaza Accord tahun 1985?

Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa AS dan Jepang pernah mengalami persoalan yang sama, di mana akhirnya Jepang bersedia merevaluasi yen-nya hampir 51% terhadap dolar AS, dalam perjanjian di hotel The Plaza New York yang dikenal dengan Plaza Accord.

Ironisnya setelah Plaza Accord 1985, defisit transaksi berjalan di AS tak menurun secara signifikan. Artinya pola Plaza Accord ini mungkin tak efektif bila dicoba kembali. Penyesuaian kurs saja tak menyelesaikan soal.

Kita tentu berharap pertemuan G-20 di Seoul pekan ini akan mampu menyelesaikan soal ini. Namun di sini masalahnya: jika semua negara berusaha memfokuskan dirinya kepada kepentingan jangka pendek (di mana China dan Asia terus memupuk surplus dan defisit terus terjadi di AS dan Eropa) maka terjadilah kondisi prisoners dilemma. Penyelesaian ideal adalah adanya kerja sama global untuk mengatasi masalah ini. Semua pihak harus mau mengorbankan kepentingan jangka pendeknya demi kepentingan global jangka panjang.

Untuk itu perlu kerja sama dan penyelesaian yang bersifat menyeluruh. China harus melakukan revaluasi RMB nya secara bertahap, bersamaan dengan itu negara-negara Asia lain juga membiarkan nilai tukarnya menjadi lebih kuat.

China juga harus melakukan penyesuaian dengan membuka perdagangannya lebih bebas, menghilangkan distorsi dalam pasar tenaga kerja dan inputnya, serta perbaikan dalam intermediasi perbankannya.

Di sisi lain, AS juga harus mulai mengurangi pelonggaran kebijakan moneternya, dan mencoba melakukan penyesuaian struktural untuk membenahi masalah domestiknya. Data menunjukkan bahwa walau AS melakukan QE, kredit tetap tak mengalir dan pemulihan tetap lambat.

Artinya QE tak sepenuhnya efektif, malah hanya menimbulkan persoalan bagi banyak negara lain. Selain itu, stigma IMF harus bisa diselesaikan. Bila tidak, negara-negara di Asia akan tetap memupuk cadangan devisa sebagai asuransi diri, karena mereka sadar bahwa jika terjadi krisis, secara politik tak bijak meminta bantuan IMF karena IMF membuat kesalahan pada masa krisis Asia 1998.

Kesepakatan seperti inilah yang kita harapkan dari pertemuan G-20. Masalahnya, solusi ini bersifat jangka panjang, dan tiap negara kerap tak sabar. Cenderung lebih memilih kepentingan jangka pendeknya. Saya agak khawatir bila G-20 tak mampu menyelesaikan soal ini.

Benar bahwa pertemuan pemimpin G-20 di Wasinghton, London dan Pittsburgh cukup efektif untuk mengatasi krisis global. Mengapa? Karena semua negara saat itu mengalami persoalan yang sama: krisis global. Sehingga walaupun perjanjian G-20 tak bersifat mengikat, setiap negara berusaha mematuhinya.

Namun, saat ini pemulihan ekonomi dunia mulai terjadi, namun tak merata. Karena itu kepentingan negara-negara anggota G-20 berbeda. Bila kepentingan tiap negara berbeda, maka keputusan yang tak mengikat akan menjadi tak efektif. Bila itu yang terjadi, dunia akan terperangkap dalam kondisi prisoners dilemma dan ekonomi dunia tentu juga ekonomi Indonesia bisa berada dalam ancaman.

Oleh Muhammad Chatib Basri
Senior Partner Creco Research Institut 
bisnis.com

Tuesday 16 November 2010

HATI HATI : METROPROFIT

FOREX memang menggiurkan, semua mimpi mimpi indah ada didalamnya, membayangkan keuntungan yang gampang di dapat dalam Trading Forex membuat kita berfikir apapun yang ada didunia ini rasanya  bisa kita miliki !

Namun, semakin indah janji seseorang tentang FOREX semakin dekat dia dengan kebohongan ! Jika anda TERGODA dengan bujuk rayu FOREX yang gampang didapat tanpa melalui proses pembelajaran dan latihan terus menerus saya yakin andapun akan tergelincir didalamnya.

Terlebih lagi dengan Tawaran Super Menarik dari seseorang dengan iming iming penghasilan tetap setiap bulan hanyalah bualan belaka, salah satunya adalah METROPROFIT dot com menurut mereka telah menghadirkan system yang paling Revolusioner yang bekerja dalam 1 sistem yaitu Investasi dengan profit 2,10% - 2,50%/hari,- pembayaran yang mereka lakukan setiap 15 hari sekali selama 12 bulan" seperti yang mereka sebutkan dalam situs resminya.

Saya tidak akan bereaksi apa apa jika hal tersebut mereka lakukan tanpa melibatkan saya pribadi dan rekan rekan saya di Master Forex Borneo Learning Center. Mereka telah Menggunakan FOTO KAMI TANPA IZIN yang memiliki HAK CIPTA dan kami tidak mau image kami nanti tercemar karena perbuatan mereka !

Forex tidak mengenal kata PASTI UNTUNG karena setiap tindakan yang kita lakukan bisa saja menimbulkan resiko kerugian, namun jika METRO PROFIT berkata "Semua MEMBER Pasti akan di untungkan meskipun hanya menjadi member PASIF, karena Sistem METROProfit.com akan bekerja secara OTOMATIS 24 jam sehari tanpa henti, 7 hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun bahkan ketika Anda Sedang Tidur sekalipun" saya hanya perpesan BERHATI HATILAH DENGAN PENAWARAN DARI MEREKA dan KAMI TIDAK BERTANGGUNG JAWAB DAN TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN MEREKA SAMA SEKALI.

Alex L. Setiawan/Media Pontianak

Monday 15 November 2010

Asia Pasifik hindari bersaing Devaluasi Mata Uang

Pimpinan negara kawasan Asia Pasifik dalam forum KTT APEC bersepakat untuk menahan diri dari ajang saling berkompetisi melakukan devaluasi mata uang, dan menyepakati pula untuk menggerakkan sistem nilai tukar yang ditentukan pasar.

Kesepakatan tersebut tertuang dalam salah satu butir dokumen yang dihasilkan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) 2010 yang dihadiri oleh 21 pimpinan negara di kawasan Asia Pasifik yang diselenggarakan di Yokohama pada 13-14 November 2010.

“Kami akan menahan diri dari kompetisi devaluasi mata uang,” seperti tertuang dalam dokumen kesepakatan hasil KTT APEC 2010 hari ini.

Adapun 21 pimpinan negara yang hadir dalam KTT APEC adalah Indonesia, Amerika Serikat (AS), China, Hong Kong, Jepang, Korea, Australia, Singapura, Selandia Baru, Malaysia, Thailand, Brunei, Taiwan, Rusia, Peru,Kanada, Cili, Meksiko, Filipina, Vietnam, Papua Nugini.

Para pemimpin negara di forum APEC juga menyatakan akan mendorong untuk meningkatkan fleksibilitas nilai tukar untuk mencerminkan fundamental ekonomi yang menjadi dasar untuk mampu menahan diri dari ajang kompetisi melakukan devaluasi mata uang.

Para pemimpin negara di kawasan Asia Pasifik yang tergabung dalam APEC juga akan mewaspadai volatilitas kelebihan dan gerakan teratur dalam nilai tukar. Tindakan tersebut dimaksudkan akan membantu mengurangi risiko volatilitas yang berlebihan dalam arus modal menghadapi beberapa ekonomi pasar yang berkembang.

bisnis.com/Linda T. Silitonga