Ratings and Recommendations by Outbrain

Wednesday 17 November 2010

Perang Kurs, G-20 dan Indonesia

Pemulihan ekonomi global ada dalam ancaman. Setidaknya begitu kekhawatiran yang muncul saat ini. Salah satu penyebabnya adalah potensi perang kurs (currency war). Itulah tema hangat yang mewarnai pertemuan pemimpin G-20 pekan ini di Seoul.

Beberapa pemimpin penting dunia juga telah memberikan pandangannya soal ini. Berkaitan dengan ini, ekonom Jeffrey Sachs dan Wing Thye Woo berinisiatif untuk mengorganisir sekelompok ekonom untuk bertemu dalam International Policy Advisory Group untuk G-20 di Seoul awal pe-kan ini, di mana saya terlibat di dalamnya.

International Policy Advisory Group G-20 memiliki kekhawatiran yang sama: perang kurs da-pat mengganggu pemulihan ekonomi global. Bagi kita di Indonesia, pemulihan ekonomi global yang terganggu tentu akan menganggu prospek perekonomian Indonesia.

Bagaimana dampaknya pada ekonomi global, bagaimana dampaknya bagi ekonomi Indonesia? Apakah pertemuan para pemimpin G-20 di Seoul mampu menyelesaikan persoalan ini?

Benar bahwa pemulihan ekonomi global mulai terjadi tetapi lebih lambat dari yang diharapkan. Krisis keuangan yang terjadi memaksa Amerika Serikat harus mengurangi konsumsinya. Implikasinya adalah menurunnya permintaan impor oleh AS terhadap semua negara di dunia.

Kita tidak bisa lagi mengharapkan AS memainkan peran sebagai lokomotif perdagangan dunia. Lokomotif perdagangan dunia harus diambil oleh negara yang memiliki surplus seperti negara Asia terutama China. Jika China menggunakan surplus nya untuk menyerap perekonomian global, maka pemulihan ekonomi dunia akan berlangsung dengan lancar.

Untuk itu China harus bersedia melakukan apresiasi renminbi (RMB) nya. Dengan ini, ketidakseimbangan global (global imbalances) akan bisa diatasi.

Sulit dimungkiri bahwa RMB memang berada di bawah nilai yang seharusnya (undervalue). Tengok saja, China mengalami surplus dalam transaksi berjalan dan neraca modal, namun RMB nya tidak menguat.

Karena itu AS menuduh China melakukan manipulasi kurs (membiarkan nilai tukar RMB nya lemah, agar produk ekspor China tetap kompetitif). China sendiri memang terlihat enggan untuk melakukan revaluasi RMB nya secara drastis.

Bisa dimengerti, karena seperti yang disampaikan oleh ekonom Dani Rodrik kepada saya dalam diskusi di Harvard University bulan lalu apresiasi RMB yang signifikan akan membuat pertumbuhan ekonomi China merosot dan menimbulkan masalah pengangguran.

Akibatnya: pemulihan ekonomi AS menjadi relatif lambat dari yang diharapkan. Untuk mendorong pemulihan ekonomi, maka Fed berencana melakukan pelonggaran kebijakan moneter tahap II (Quantitative Easing II (QE II)).

Pelonggaran kebijakan moneter ini membuat tingkat bunga di AS sangat rendah yang pada gilirannya dan mendorong arus modal keluar ke negara-negara Amerika Latin dan Asia, termasuk Indonesia.

Akibatnya, nilai tukar dolar melemah. Arus modal yang masuk ini dalam bentu portofolio telah mendorong nilai tukar negara-negara tersebut mengalami penguatan, dan meningkatkan risiko bubble terutama untuk negara seperti Indonesia yang belum sepenuhnya mampu mengalihkan dana jangka pendek dari sektor keuangan ke sektor riil.

Apresiasi nilai tukar yang menguat akan membuat ekspor terpukul. Melihat hal ini, Jepang yang mata uang yen-nya mengalami apresiasi secara signifikan melakukan intervensi dengan kebijakan pelonggaran moneter. Korea juga mengikuti langkah Jepang dengan melakukan intervensi di pasar devisa.

Saya ingat, di dalam pertemuan terbatas anggota Regional Advisory Group IMF di Washington DC bulan lalu, saya merasakan "suasana kebatinan" perang kurs ini, di mana negara Amerika Latin dengan tegas mengatakan bahwa mereka mungkin akan memberlakukan capital control dengan pajak atas modal jangka pendek dan melakukan intervensi di pasar devisa.

Untuk Indonesia, pilihan intervensi di pasar devisa dengan sterilisasi dan akumulasi cadangan devisa memiliki biaya yang sangat mahal karena selisih dari US T bills (yang mendekati 0%) dengan SBI (6.5%). Bila ini terus dilakukan, maka dalam jangka menengah BI akan mengalami persoalan dalam neracanya.

Waspadai rupiah

Sebaliknya membiarkan rupiah menguat dengan sangat tajam, akan memukul ekspor padat karya kita, yang pada gilirannya akan membahayakan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Indonesia bisa mengantisipasi ini dengan kebijakan yang komprehensif yang mencakup: membiarkan rupiah sedikit terapresiasi; Bank Indonesia melakukan sterilisasi sesuai dengan kapasitasnya; penerapan aturan administratif untuk modal jangka pendek (seperti aturan untuk memegang SBI dalam waktu 1 bulan); percepatan pembayaran utang luar negeri; bisa saja budget defisit sedikit diturunkan dengan catatan bahwa alokasi infrastruktur harus tetap dan bahkan meningkat dengan mengurangi subsidi BBM dan listrik dan mengalokasikannya untuk infrastruktur; mendorong semakin banyak perusahaan untuk masuk ke pasar modal. Yang paling penting adalah implementasi dari pembangunan infrastruktur agar modal mengalir dari sektor keuangan ke sektor riil.

Namun, bila setiap negara berlomba-lomba membuat nilai tukarnya tak mengalami apresiasi (competitive non-appreciation), maka perang kurs bisa terjadi. Sejarah mengajarkan kepada kita: salah satu yang membuat perekonomian global ambruk dalam depresi besar tahun 1930 adalah beggar thy neighbor policy di mana tiap negara membuat nilai tukarnya lemah.

Akibatnya: proteksionisme meningkat, perdagangan global lumpuh dan ekonomi dunia masuk dalam jurang depresi yang panjang. Kalau perekonomian dunia lumpuh, maka semua negara, termasuk Indonesia akan mengalami persoalan. Dalam kasus Indonesia, situasi ini juga dapat diperburuk karena arus modal jangka pendek yang masuk membawa risiko bubble. Bila modal kembali keluar dengan drastis maka pasar keuangan dan rupiah anjlok, perbankan dan sektor riil mengalami tekanan. Kita tak boleh mengulangi kesalahan yang sama.

Karena itu harus ada langkah bersama untuk mengatasi soal ini. Di sini pertemuan pemimpin G-20 di Seoul menjadi penting. Kerjasama seperti apa? Apakah mengikuti pola Plaza Accord tahun 1985?

Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa AS dan Jepang pernah mengalami persoalan yang sama, di mana akhirnya Jepang bersedia merevaluasi yen-nya hampir 51% terhadap dolar AS, dalam perjanjian di hotel The Plaza New York yang dikenal dengan Plaza Accord.

Ironisnya setelah Plaza Accord 1985, defisit transaksi berjalan di AS tak menurun secara signifikan. Artinya pola Plaza Accord ini mungkin tak efektif bila dicoba kembali. Penyesuaian kurs saja tak menyelesaikan soal.

Kita tentu berharap pertemuan G-20 di Seoul pekan ini akan mampu menyelesaikan soal ini. Namun di sini masalahnya: jika semua negara berusaha memfokuskan dirinya kepada kepentingan jangka pendek (di mana China dan Asia terus memupuk surplus dan defisit terus terjadi di AS dan Eropa) maka terjadilah kondisi prisoners dilemma. Penyelesaian ideal adalah adanya kerja sama global untuk mengatasi masalah ini. Semua pihak harus mau mengorbankan kepentingan jangka pendeknya demi kepentingan global jangka panjang.

Untuk itu perlu kerja sama dan penyelesaian yang bersifat menyeluruh. China harus melakukan revaluasi RMB nya secara bertahap, bersamaan dengan itu negara-negara Asia lain juga membiarkan nilai tukarnya menjadi lebih kuat.

China juga harus melakukan penyesuaian dengan membuka perdagangannya lebih bebas, menghilangkan distorsi dalam pasar tenaga kerja dan inputnya, serta perbaikan dalam intermediasi perbankannya.

Di sisi lain, AS juga harus mulai mengurangi pelonggaran kebijakan moneternya, dan mencoba melakukan penyesuaian struktural untuk membenahi masalah domestiknya. Data menunjukkan bahwa walau AS melakukan QE, kredit tetap tak mengalir dan pemulihan tetap lambat.

Artinya QE tak sepenuhnya efektif, malah hanya menimbulkan persoalan bagi banyak negara lain. Selain itu, stigma IMF harus bisa diselesaikan. Bila tidak, negara-negara di Asia akan tetap memupuk cadangan devisa sebagai asuransi diri, karena mereka sadar bahwa jika terjadi krisis, secara politik tak bijak meminta bantuan IMF karena IMF membuat kesalahan pada masa krisis Asia 1998.

Kesepakatan seperti inilah yang kita harapkan dari pertemuan G-20. Masalahnya, solusi ini bersifat jangka panjang, dan tiap negara kerap tak sabar. Cenderung lebih memilih kepentingan jangka pendeknya. Saya agak khawatir bila G-20 tak mampu menyelesaikan soal ini.

Benar bahwa pertemuan pemimpin G-20 di Wasinghton, London dan Pittsburgh cukup efektif untuk mengatasi krisis global. Mengapa? Karena semua negara saat itu mengalami persoalan yang sama: krisis global. Sehingga walaupun perjanjian G-20 tak bersifat mengikat, setiap negara berusaha mematuhinya.

Namun, saat ini pemulihan ekonomi dunia mulai terjadi, namun tak merata. Karena itu kepentingan negara-negara anggota G-20 berbeda. Bila kepentingan tiap negara berbeda, maka keputusan yang tak mengikat akan menjadi tak efektif. Bila itu yang terjadi, dunia akan terperangkap dalam kondisi prisoners dilemma dan ekonomi dunia tentu juga ekonomi Indonesia bisa berada dalam ancaman.

Oleh Muhammad Chatib Basri
Senior Partner Creco Research Institut 
bisnis.com

1 komentar:

Going to be interesting to see how this year's G20 goes.

Post a Comment