by : Martin Sihombing
Desakan LSM asing Greenpeace, Walhi dan Jatam agar pemerintah menghentikan ketergantungannya terhadap penggunaan batubara sebagai sumber energi mendapat reaksi keras berbagai kalangan.
Lalu Mara Satriawangsa, mengatakan seluruh elemen bangsa Indonesia tidak perlu mendengar kritik Greenpeace. "Untuk apa ditanggapi. Dipikirin aja gak perlu. Biarin sajalah, gak usah dipikirin," ujarnya kepada wartawan di Jakarta.
Menurut Lalu, Greenpeace tidak memberikan kontribusi apa pun kepada negeri ini. "Memangnya apa yang dia berikan kepada negeri ini. Menciptakan lapangan kerja? Tidak. Memberikan kesejahteraan buat masyarakat banyak? Apa lagi, tidak sama sekali," tandas Lalu, juru bicara Aburizal Bakrie, pemilik pertambangan batu bara Kaltim Prima Coal (KPC).
Dalam acara diskusi peluncuran laporan jejak kerusakan batu bara, Greenpeace, Walhi, dan Jatam meminta agar pemerintah dan perusahaan nasional tidak memberdayakan batu bara. ''Batu bara memang murah. Namun efeknya sangat mahal. Mulai dari kerusakan hutan ketika pembukaan pertambangan batubara, sampai kerusakan lingkungan, manusia, dan iklim," ujar Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara.
Melanjutkan keterangannya, Lalu, mengatakan, desakan Greenpeace dan kedua LSM tersebut sangat tidak rasionil. Sebab, batu bara merupakan salah satu sumber devisa negara yang besar. Selain itu, sangat banyak masyarakat yang kehidupannya tergantung dari hasil batu bara.
"Di sana ada jutaan orang yang kehidupannya sangat tergantung dari batu bara," katanya. Lalu sangat yakin, pemerintah tidak mungkin menanggapi kritikan yang dilontarkan Greenpeace.
"Apalagi Indonesia merupakan negara berkembang yang masih sangat membutuhkan pendapatannya dari hasil bumi.
Anggota Komisi VI DPR Hendrawan Supratikno mengaku curiga dengan gerakan Greenpeace yang memaksa PLN agar tidak menggunakan batu bara sebagai sumber energi, merupakan pesanan dari perusahaan global. Karena itulah pernyataan Greenpeace itu harus dikaji lagi.
"Kalau Indonesia tidak menggunakan batu bara, lalu hasil tambang batu baranya kan harus diekspor. Kalau begitu, asing lagi yang untung. Padahal kita sendiri membutuhkan batu bara untuk mengurangi penggunaan BBM," ungkapnya.
Menurut Hendrawan, kalau PLN menggunakan batu bara sebagai sumber energinya, maka daya saing Indonesia di pasar global bisa lebih baik, ketimbang menggunakan energi lain yang jauh lebih mahal.
"Kalau kita mendengarkan kritikan Greenpeace, bisa dipastikan kita tidak punya daya saing lagi. Akhirnya, perusahaan asing lagi yang diuntungkan," ujarnya.
Hendrawan malah balik mendesak agar Greenpeace tidak menggunakan standar ganda dalam berkampanye. Artinya, ketika mereka mengkritik negara-negara lain, standarnya jangan berbeda dengan standar kritikan yang ditujukan kepada Indonesia.
Sementara yang terjadi, ketika mereka mengkritik negara lain, standar yang dipakainya berbeda. Padahal penggunaan batu bara di negara-negara maju jauh lebih besar dibanding Indonesia. Dengan menggunakan standar kritik seperti yang dilakukan Greenpeace kepada Indonesia, berarti telah menyuruh Indonesia untuk menutup semua usahanya.
"Kalau dia mengkritiknya seperti itu, sama saja dia bilang, perusahaan Indonesia yang tidak kuat bersaing, tutup saja. Padahal, justru kita ingin memperkuat diri agar bisa lebih tangguh," tandasnya. Karena itulah, sebaiknya kritik Greenpeace itu tidak perlu ditanggapi, baik oleh pemerintah maupun perusahaan-perusahaan nasional. (msb)
Bisnis.com/Media Pontianak
0 komentar:
Post a Comment