Beberapa waktu lalu, saya mengikuti kelas dari tiga trainer yang mengajarkan tentang entrepreneurship. Yang pertama Pak Anton. Intonasi bicaranya sedang-sedang saja, pelan tidak, kencang pun tidak, tapi meyakinkan. Kedua Pak Darma, dengan gaya bicara yang agak, maaf terdengar cadel, tetapi lucunya bukan main. Terakhir adalah Pak Agung, dengan vokal sedikit cepat, dan selalu tak lepas dari kata “Saudara” pada setiap akhir kalimatnya.
Mereka bertiga perpaduan yang enak dan tidak membuat ngantuk ketika mengikuti training-nya. Namun ada satu lagi yang mempersamakan ketiga trainer ini: penuh semangat. Setiap kalimatnya seperti memompakan energi dan vitalitas baru.
Moga-moga saya tidak berlebihan ketika mendeskripsikan ini, tetapi itulah kesan saya. Dan alumni training yang dibawakan ketiga orang ini, memang tidak sembarangan: para entrepreneur.
Teman saya meledek ketika tahu saya ikut pelatihan macam ini. “Mau jadi pengusaha ya?” katanya. Aha, amien, jawab saya. Selain ditugaskan kantor untuk mengikuti training tersebut bersama tim redaksi, pelatihan macam ini memang menjadi keinginan saya sejak lama.
Tentu, training semacam itu, selain men-charge kembali baterai yang nyaris kosong karena dipakai melulu setiap hari, ada saja “ilmu baru” yang inspiring dan mencerahkan.
Apalagi sesekali sempat disinggung, perlunya negeri ini dikelola dengan gaya entrepreneurship pula jika tidak ingin semakin tenggelam oleh hiruk pikuk persaingan global.
***
Lantas pernahkah Anda membayangkan dampak multiplier sebuah bisnis terhadap lingkungan sekitarnya? Ternyata tidak main-main.
Ambil contoh Wisma BCA yang lama di jalan Sudirman. Anda tentu tahu, ketika bank tersebut masih berkantor di kawasan itu sebelum berpindah di kawasan Bundaran Indonesia, terdapat sebuah restoran chinese food yang selalu ramai. Di kawasan itu juga terdapat kelab eksekutif yang bergengsi.
Saya kaget ketika mendengar kelab tersebut saat ini sudah tidak begitu aktif lagi, bahkan restoran chinese food-nya begitu sepi. Ada tukang bakso yang sebelumnya dapat menjual 200 mangkuk bakso setiap hari, juga kehilangan banyak pelanggan.
Yang menarik adalah tukang rujak. Berbeda dengan tukang bakso yang pasrah saja ketika para pelanggannya berpindah ke kantor baru, si tukang rujak yang disapa Mbak Rujak oleh pelanggannya, lebih proaktif memanfaatkan informasi yang dimilikinya seputar rencana pindah kantor karyawan yang menjadi pelanggannya sejak beberapa tahun silam.
Mbak Rujak mencoba mencari tempat baru di sekitar lokasi baru “klien”-nya. Dia berani melawan ketidakpastian yang baru. Maka, ketika para pelanggan boyongan, Mbak Rujak pun ikut boyongan ke seputar Bundaran Hotel Indonesia.
Hasilnya, Mbak Rujak tetap mendapatkan pelanggan lama sekaligus pelanggan baru, sekalipun harus berjuang susah ketika baru pindah.
Mbak Rujak kembali mendapatkan konsumennya, yang merindukan rujak buah segarnya. Ia terkenal karena rujaknya yang khas, buahnya selalu baru, tidak ada buah kemarin, atau buah kulkas yang dijual untuk campuran rujak buahnya.
Mbak Rujak tak seperti tukang bakso yang pasif. Mbak Rujak bahkan mengalahkan restoran chinese food yang terpaksa tutup gara-gara ditinggal pergi pelanggannya.
Bahkan Mbak rujak kini menjalankan model bisnis yang baru, melayani pesanan via telepon dan networking dengan para satpam. Bisnisnya pun semakin berkembang, meski kelas kaki lima.
Saya senang dengan kisah Mbak Rujak ini, karena menggarisbawahi pentingnya mengetahui informasi dan bagaimana memanfaatkannya untuk keperluan kewirausahaan.
Ini sekaligus menekankan betapa akses informasi saja tak cukup tanpa kejelian membaca peluang dan ancaman, sekaligus mengantisipasi dengan langkah dan keputusan yang tepat.
Mbak Rujak telah mengambil keputusan bisnis yang tepat disertai inovasi baru dalam menjalankan usahanya. Mbak Rujak boleh dibilang telah menjadi entrepreneur sejati.
***
Ketika saya mencoba berbagi kisah sederhana dan barangkali menurut Anda sangat remeh ini, tentu bukan tanpa sebab. Ini berkaitan dengan urusan di sekitar kita, dan langsung atau tidak, saya kira berhubungan dengan Anda.
Apalagi hal ini berkaitan dengan sumberdaya terpenting negeri ini: sumberdaya manusia, yang belum terkelola secara optimal sebagai soko guru perekonomian yang sebenarnya.
Cobalah tengok sedikit angka statistik. Indonesia punya sedikitnya 36 juta kelompok umur produktif yang berusia 15-30 tahun. Jika digambar dengan piramida, maka populasi penduduk Indonesia menggembung di tengah.
Sebab ada lebih dari 30 juta populasi usia produktif, yang menyandang status kelas pekerja dan kelas menengah baru di Indonesia.
Ada beberapa cara membaca potret demografi ini.
Bagi ekonom Chatib Basri atau pengusaha Chairul Tanjung, yang bermimpi Indonesia menjadi perekonomian nomor lima terbesar di dunia pada 2030, ini adalah bonus demografi.
Pasalnya, populasi ini akan memompa daya beli yang besar dan menjadi mesin penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun mendatang. Tentu, itu dengan catatan jika kelas piramida di tengah ini memiliki pekerjaan.
Namun, masalahnya adalah, bagaimana seandainya kelompok usia 15-30 tahun ini tidak memiliki pekerjaan? Ahh mana mungkin, kan ekonomi Indonesia tumbuh 6% per tahun. Begitu kira-kira argumen Anda.
Baiklah, taruh saja ekonomi Indonesia tumbuh 6% per tahun, angka rasio serapan terhadap angkatan kerja, yang biasa dipakai untuk mengkonversikan pertumbuhan dengan penyediaan lapangan kerja, adalah 400.000. Artinya, setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan 400.000 lapangan kerja baru.
Apakah angka itu mencukupi untuk menyerap lulusan sekolah dan perguruan tinggi?
Banyak sekali variasi rasio soal ini, dan sejauh ini tidak ada ahli yang mampu menghitung secara eksak rasio tersebut pasca krisis 1997-1998 silam.
Ada yang menyebutkan, lebih dari 1,5 juta lulusan sekolah dan universitas setiap tahun tidak tertampung di tempat kerja. Data Badan Pusat Statistik tahun lalu menyebutkan, terdapat sekitar 7% atau lebih dari 8 juta pencari kerja saat ini menganggur.
Lalu menurut data kementrian tenaga kerja, di berbagai daerah kini terdaftar 4,12 juta pencari kerja, dengan lowongan kerja tersedia hanya 2,38 juta orang.
Anehnya, dari jumlah lowongan itu, hanya dapat terisi 1,62 juta orang atau sekitar 70% saja. Dan lebih repot lagi, dari total 116,5 juta angkatan kerja, sekitar 51% adalah lulusan sekolah dasar.
Buat saya, gambaran itu sungguh menyedihkan. Di tengah besarnya pengangguran, lowongan kerja pun ternyata tidak dapat dipenuhi oleh tenaga kerja yang kompeten.
Bukan semata persoalan kompetensi, syarat kesehatan pun juga menjadi masalah. Pusat studi bursa kerja UGM pernah melaporkan, 57% lulusan sarjana pencari kerja tak lulus karena masalah kesehatan!
Ini semakin memprihatinkan.
Maka, buat saya, soal sumberdaya manusia menjadi isu sangat serius. Saya kok jadi khawatir, di luar kompetensi teknis dan keilmuan, jangan-jangan jika kita melongok lebih jauh ke isu softskill akan jauh lebih serius lagi. Moga-moga tidak.
Tetapi hgambaran itu pun sekali lagi membuktikan, terdapat jurang yang lebar antara permintaan di pasar kerja dan kesiapan tenaga kerja yang tersedia. Malang benar.
***
Saya percaya, persoalan ini bukan semata-mata problem pendidikan formal dan kemiskinan atau kesehatan, tetapi juga problem pendidikan di dalam keluarga.
Apalagi ada gambaran lain yang perlu dicermati. Tahukah Anda, saat ini terdapat lebih dari 6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, di mana dua pertiga di antara mereka adalah wanita?
Antonius Tanan-lah, yang menyitir angka ini, yang pernah memberikan pelatihan entrepreneurship kepada para tenaga kerja wanita.
Coba hitung, jika duapertiga dari tenaga kerja wanita itu sudah berkeluarga, dan dua pertiganya meninggalkan anak-anak di kampung halaman tanpa ibunya.
Artinya, jutaan anak di Indonesia adalah motherless children, yang tidak mendapatkan sentuhan kasih ibu tetapi juga didikan langsung yang layak dari orang terdekat yang melahirkannya.
Satu ilustrasi adalah Filipina. Banyak tenaga kerja dari Filipina yang bekerja di luar negeri, kini anak-anak mereka mengalami degradasi kemampuan berbahasa Inggris, karena tidak mendapatkan transfer ilmu langsung dari Ibunya.
Jadi, jika potret keluarga Filipina itu menjadi benchmark keluarga TKI kita, bagaimana profil sumberdaya manusia Indonesia satu dua dekade ke depan?
Ini sungguh memerlukan antisipasi yang serius. Gaya antisipasi Mbak Rujak barangkali bisa dicontoh. Jangan sampai meniru sikap pasrah tukang Bakso.
Jika tidak, bukannya populasi gemuk di tengah yang produktif bisa menjadi bonus demografi, salah-salah malah bisa berbalik menjadi bencana demografi. (arief.budisusilo@bisnis.co.id)