Ratings and Recommendations by Outbrain

Thursday 4 November 2010

Gencatan senjata perang kurs ala G-20

Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral kelompok G-20 sepakat melakukan "genjatan senjata" atas perang kurs dalam pertemuan yang digelar di Gyeongju, Korea Selatan pada 23-24 Oktober.

"Kami berjanji meredakan ketegangan kurs dengan menghindari devaluasi [menurunan nilai] mata uang, menjaga volatilitas kurs tidak terlalu besar, dan melindungi negara berkembang dari dampak arus modal fluktuatif," tulis komunike G-20 yang dirilis pada situs resmi forum kerjasama multilateral itu.

Untuk mendukung keberhasilan genjatan senjata ini, G-20 menugaskan International Monetary Fund (IMF) mengawasi konsistensi kebijakan fiskal, moneter, sektor keuangan, struktural, dan nilai tukar negara anggota pascagencatan senjata.

Tampaknya, Menteri Ekonomi Jerman Rainer Bruederle cukup berperan sebagai penengah guna menghasilkan kesepakatan ini. Dia meminta China melepas yuan ke pasar dan Federal Reserve (The Fed) harus mendengar kritik G-20 atas sikap moneternya.

Selebihnya, gencatan senjata itu merupakan buah dari kesadaran perwakilan 19 negara ditambah Uni Eropa akan bahaya perang kurs bagi masa depan perekonomian global. Meskipun sudah merambah ke sejumlah negara, perang kurs awalnya dipicu oleh China dan Amerika Serikat.

Bank Indonesia (BI), sebagai satu-satunya bank sentral di Asia Tenggara dari anggota G-20 ikut menyanggupi janji ini. Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan akan berkonsolidasi dengan bank sentral di Asia melalui forum bank sentral. (Bisnis, Senin 25 Oktober)

Dia mengatakan perang kurs, istilah yang disampaikan Menkeu Brasil Guido Mantega pada 27 September 2010, tidak dapat diselesaikan sendiri. Perang mata uang sama saja dengan perang tarif pada tahun 1930-1940-an yang dapat merusak merusak pasar dan perdagangan.

Meski ada kesadaran atas bahaya perang kurs, sejumlah kalangan masih pesimistis mengenai realisasi gencatan senjata di G-20 itu. Oh Suk Tae, ekonom SC First Bank Korea Ltd di Seoul, seperti dikutip Bloomberg, dia mengatakan tidak yakin apakah perang kurs berakhir.

Setidaknya ada 2 alasan kuat yang memunculkan keraguan atas pelaksanaan janji ini.

Pertama, G-20 tidak dapat memberlakukan sanksi tegas bagi pelanggar kesepakatan. Tidak berlebihan rasanya jika Martin P.H. Panggabean, Ekonom Independen Kelompok Studi QuantaPrima, mengibaratkan G-20 seperti lapo tuak di Tanah Batak. (Bisnis, Senin, 28 Juni)

Martin mengatakan G-20 bukan institusi resmi dan tidak demokratis, tidak ada voting, dan tidak transparan karena banyak hal diselesaikan di belakang layar, semua peserta datang dengan masalah dan kepentingan masing-masing.

Kedua, tidak semua negara yang dituding memicu peran kurs mengaku bersalah. Sampai saat ini, China masih membantah tudingan mempertahankan yuan undervalue (di bawah nilai sebenarnya) untuk mendorong ekspor. Artinya, negara yang dinilai sebagai pemicu perang tak rela mengibarkan bendera putih.

Wakil Menteri Perdagangan China Zhong Shan di sela-sela Sidang Tahunan IMF bulan ini mengatakan profit margin atas ekspor China di bawah 2%, dan sebagian besar keuntungan eksportir dari peningkatan inovasi dan memangkas biaya.

Negara itu membiarkan yuan menguat 21% terhadap dolar AS dari 2005 sampai 2008, sewaktu mengadopsi sistem mata uang mengambang, tetapi yuan dipertahankan hampir tidak bergerak terhadap dolar AS guna membantu eksportir dari krisis global.

"Air tidak dapat mendidih dengan suku 99 derajat Celsius, tetapi banyak eksportir kami yang akan bangkrut jika yuan dinaikkan lebih dari 1 derajat," jelasnya.

Menjelang pertemuan dengan Perdana Menteri China Wen Jiabao di sela-sela Sidang Umum PBB pada bulan lalu, Presiden AS Barack Obama mengatakan nilai tukar yuan lebih rendah dari kondisi pasar yang sebenarnya sehingga memberi China keuntungan dagang.

Wen langsung membantah dan menuding AS tidak adil karena mendapat keuntungan dari penerbitan dolar AS dan obligasi secara besar-besaran. Data Bank for International Settlements menyebutkan perdagangan mata uang per hari sekitar US$4 triliun, di mana sekitar 80% melibatkan dolar AS.

Lain lagi, dengan Asia. Kawasan ini mengaku derasnya arus modal masuk memperkuat nilai tukar lokal, sehingga harus diturunkan, jika tidak mengancam kelangsungan ekspor.

Tidak adanya pengakuan atas prilaku yang memicu perang kurs memunculkan kecurigaan atas kebijakan ekonomi.

Lihat saja, kebijakan bank sentral China (People\'s Bank of China/PBOC) menaikkan suku bunga pinjaman dan simpanan pertama sejak 2007 sebesar 0,25% pada pekan lalu, tidak serta merta disambut positif oleh pasar dan kalangan ekonom.

Kebijakan itu seharusnya dapat memperkuat yuan, sehingga mengurangi perang kurs. Namun, tidak demikian dikatakan Thomas R. Rumbaugh, Division Chief IMF untuk Asia Pasifik yang juga mantan Mission Chief IMF untuk China.

Tambah amunisi
Rumbaugh malah menilai China memperkuat kemampuan menghadapi perang kurs, di mana dengan suku bunga tinggi, berarti kalangan investor dapat menghasilkan laba yang lebih besar lagi di negara itu, sehingga mendorong aliran masuk modal (capital inflow) dan meningkatkan cadangan devisa.

Cadangan devisa merupakan amunisi terbaik mengintervensi nilai tukar. Artinya, China mengantisipasi ledakan perang kurs.

Jika proyeksi ini benar, bukankah ini juga menjadi salah satu kepatuhan atas solusi yang dianjurkan dari Sidang Tahunan IMF dan Bank Dunia di Washington pada 8-10 Oktober.

Dalam pertemuan itu, Jose Vinals, Direktur Departemen Moneter dan Pasar Modal IMF mengatakan cara terbaik berlindung dari konsekuensi perubahan kurs valuta asing atas neraca keuangan adalah memiliki buffer kuat untuk mengakomodasi setiap perubahan.

Tidak cukup sampai di sini. AS juga masih memiliki amunisi menghadapi perang kurs. Salah satunya, RUU Tentang Reformasi Nilai Tukar Mendorong Perdagangan Adil yang dibahas Kongres AS pada saat ini.

Jelas-jelas RUU itu ditujukan untuk sanksi atas yuan melalui pembentukan tarif khusus jika mata uang China itu di nilai undervalue.

Gencatan senjata baru saja terjadi, para menteri keuangan dan pemimpin bank sentral anggota G-20 mungkin saja baru tiba di negara dan sudah disibukkan dengan urusan domestik.

Tidak ada yang dapat memastikan kepatuhan anggota G-20 atas kesepakatan itu, tetapi dapat dipastikan China akan melakukan pembalasan jika Obama menandatangani RUU nilai tukar. Semoga ini tidak memicu perang yang lebih parah. (ESU)

sumber : Bisnis.com

0 komentar:

Post a Comment