Kepala Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Jumat, memperingatkan negara-negara terhadap pemeliharaan mata uang mereka "undervalued" (di bawah nilai pasar) untuk menciptakan lapangan kerja, mengatakan kebijakan seperti itu bisa memicu proteksionisme.
Pascal Lamy, Direktur Jenderal WTO, mengatakan perang nilai mata uang -- dalam sebuah referensi yang jelas ke Amerika Serikat dan China -- telah muncul sebagai penghalang terhadap stabilitas keuangan global.
"Hal ini menghasilkan pekerjaan yang berada di jantung strategi dari beberapa negara untuk menjaga mata uang mereka undervalued," katanya. "Sama seperti itu juga di jantung kebijakan moneter longgar negara lain."
Persaingan devaluasi, telah menimbulkan kekhawatiran perang mata uang global, akan memicu "saling balas proteksionisme", katanya.
"Kebijakan tidak terkoordinasi `beggar thy neighbour` (kebijakan ekonomi di suatu negara yang mengakibatkan kekacauan di negara lain) tidak akan menghasilkan peningkatan lapangan kerja," katanya.
Washington telah mendesak Beijing untuk membiarkan yuan naik, mengatakan mata uang itu undervalued untuk menciptakan keuntungan perdagangan yang tidak adil.
Amerika Serikat telah dituduh melakukan hal yang sama dengan suntikkan dana 600-miliar dolar yang diumumkan awal bulan ini.
Lamy juga mengatakan ia bertujuan untuk kesepakatan awal pembicaraan perdagangan WTO dalam putaran Doha yang terhenti pada pertengahan 2011.
Dirjen WTO mengatakan para pemimpin pada KTT Kelompok 20 di Seoul minggu lalu telah "menyerukan perundingan menyeluruh untuk menyimpulkan akhir permainan" dari pembicaraan liberalisasi perdagangan global pada 2011.
Putaran Doha dari perundingan perdagangan global dimulai pada 2001 dengan fokus pada pembongkaran hambatan perdagangan untuk negara-negara miskin. Namun negosiasi telah terhenti karena perselisihan.
Mereka termasuk berapa banyak Amerika Serikat dan Uni Eropa harus mengurangi bantuan pertanian dan sejauh mana negara-negara berkembang seperti India dan China harus menurunkan tarif pada produk industri.
Tenggat waktu berturut-turut untuk menyimpulkan pembicaraan telah luput.
New York (ANTARA/AFP/Reuters
0 komentar:
Post a Comment